Translate

Sunday, June 7, 2020

Cerpen

Cerita pendek, gak pendek pendek amat. Tokoh dan plot hanya fiktif.  jangan lupa tinggalkan komentar.


BATU MENANGIS

Kisah ini bercerita tentang seorang gadis pengembala bernama Naira. Gadis yang dibesarkan di Ladang kambing, sehingga yang dia tahu hanya mengurusi kambing. Hidupnya tak pernah menjumpai seseorang untuk dikasihi, sebab setiap harinya hanya mengurusi anak-anak kambing dan membaca di bawah pohon.
"Enaknya, menjadi putri Juliet. Tak perlu mengurusi kambing- kambing dan bahagia bersama pangeran." Keluhnya sembari bernafas berat.
"Nai, cepat kemarilah. Kembalikan anak anak kambing ke kandang. Sebentar lagi akan turun hujan!" Teriak seseorang dari bawah bukit.
"Baiklah!" Sahutnya.
Ia pun turun dan segera menggiring anak anak kambing kembali ke rumahnya. "Andai saja.." Lirihnya.
Pagi menyapa, seperti biasa Naira sudah siap dengan pakaian pengembalanya. Ia menggiring anak kambing ketepian bukit yang penuh dengan rumput yang segar. Kambing- kambing itu terlihat sehat dan gembira mengunyah rumput rumput itu dan sesekali berlarian. Naira pergi ke bawah pohon dibagian atas bukit karena dari situlah dia dapat berteduh dari terik matahari dan tetap bisa memantau kambing-kambingnya. Kemudian ia membuka sebuah buku dan membacanya.
"Sepertinya pemandangan di sini cukup bagus ya?"
Naira terkejut melihat seorang lelaki telah duduk di sampingnya sambil tersenyum melihat pemandangan di bawah bukit. Ia tidak menyahut seruan sang lelaki hanya bergeser sedikit menjauhinya.
"Hallo, namaku Petter. Apakah kau sering datang kemari?. Sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan mu selalu duduk disini. "
Naira semakin terkejut, ia membisu sebab selama ini ia tidak pernah menyadari ada yang memperhatikannya diam-diam. Ia hanya membelalak menatap lelaki tersebut.
"Tenang saja, aku tidak bermaksud jahat padamu kok. Aku hanya suka melihat mu"
Naira merasakan degupan dadanya tidak biasa. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupannnya. Ia pun berlari menuruni bukit dan segera menggiring kambing-kambing masuk ke kandang.
"Ada apa ini? Hari masih siang " Ujar Mama Lauri ibunda Naira.
"Hari akan hujan ma" sahutnya dan masuk kedalam kamarnya kemudian membenamkan wajahnya diatas bantal. Betul saja hujan segera turun dan menemani Naira yang masih dalam keadaan gugup.
Tentu saja ini tidak mudah bagi seorang gadis yang tidak pernah menjumpai seorang yang menyukainya. Lamunannya terus menanyakan siapa dia? Siapa Petter? Dari mana dia? Mengapa dia memperhatikan ku?
Malam berganti pagi, Naira mencoba bersikap biasa dan menggiring kambing- kambing pergi ke ladang. Namun, hal yang tidak biasa terjadi. Petter sudah menunggunya di bawah pohon. Naira bermaksud mencari tempat lain untuk bersantai, namun ia tidak menemukan tempat lain. Karena jika dia terlalu jauh dari kambing- kambingnya maka dia akan terkena masalah dan Mama Lauri akan memarahinya.
Naira duduk agak jauh dari Petter, ia berusaha mengacuhkan Petter yang sejak tadi mengajaknya berbicara. Petter terus mengoceh meski Naira tak pernah memperhatikannya atau bahkan merespon sedikit pun. Namun, tidak dipungkiri Naira terus mendengarkan apa yang Petter bicarakan.
"Rupanya kau mendengarkan ku!" Petter tertawa terbahak bahak "Bahkan sejak tadi kau tidak membalik kertasnya sedikit pun" Petter terus tertawa.
Naira yang merasa malu hanya membalik badan dan menutup wajahnya dengan buku yang dipegangnya. Dadanya semakin berdegup kencang. Hingga senja pun tiba, mereka pun berpisah.
"Aku menyukaimu, tapi aku tidak memaksa mu menyukaiku" Kata Petter diakhir perpisahannya.
Kata- kata Petter terus terngiang di kepalanya, berputar putar seperti kaset rusak. Naira, bingung apa yang harus ia lakukan, apa yang harus ia katakan kepada Petter. Hal ini membuatnya sulit untuk terlelap.
Keesokan harinya Naira tidak menjumpai Petter, Naira tidak membohongi hatinya. Ia tidak bisa mengelak jika ia kecewa, ia ingin bertemu Petter. "Mungkin ia lupa, besok ia akan kemari" Ujarnya menghibur diri.
Keesokan harinya pun Petter tak ada, hal ini semakin membuatnya sedih. Kemana perginya Petter. Ia mencoba mencari disetiap penjuru bukit. Namun ia tetap tidak menemukannya. Senja hari terasa sangat lama dan malam terasa sangat panjang untuk berganti pagi. Sebab, rasa harap harap ju,pa dalam dada Naira begitu menggebu.
Pagi itu dengan sangat lemas Naira menaiki bukit dan duduk di bawah pohon. Harapannya masih sama 'berjumpa Petter'. Namun ia tidak juga menemukannya. Hingga sebuah suara yang ia kenal menyapanya "Hai, apa kabar?" Sahut Petter
Sosok yang ia nanti muncul dihadapannya. Betapa Naira sangat merindukan Petter, senyum lebar menghiasi wajah Naira tanpa ia sadari. Namun Petter selalu sadar akan itu " Hei, kau terlihat bahagia? Apakah kau merindukan ku? " Kata Petter dengan nada bercanda.
"Aku terserang demam kemaren" Petter mulai menjelaskan.
"Apa kau baik baik saja saat ini?" Tanya Naira
"Betapa bahagianya aku, ini pertama kalinya kau berbicara padaku. Aku senang sekali" Ujar Petter sambil melompat kegirangan. "Aku baik baik saja, aku sangat sehat sekarang."
Melihat kelakuan Petter, Naira tertawa dan mereka pun mulai perbincangan yang hangat. Senja itupun mereka berpisah, "Jika kau mencariku, bunyikanlah peluit ini aku akan datang" Petter memberikan sebuah peluit dari bambu dan menyampaikan perpisahan seperti biasa. "Aku menyukaimu, tapi aku tidak memaksa mu menyukaiku".
Keesokan harinya Naira sudah sangat siap menuju ladang, namun Mama Lauri menghadangnya " Sedang apa kau ini Nai, lekas ganti pakaianmu dengan pakai yang bagus. Apakau lupa hari ini Juragan akan datang!"
"Mau apa dia?"
"Dia berencana meminangmu"
"Apa dia gila? Bahkan dia sudah beristri 4,untuk apa meminangku? Aku tidak mau!"
Mama Lauri menariknya dan memaksa mengganti pakainnya. Hari itu ia tidak menemui Petter. Naira sangat sedih dan membenci hari itu. "Besok aku akan menemuinya!" Mencoba menghibur diri.
Esok harinya lagi lagi ia tidak menemukan Petter, ia mencari cari namun tidak menemukan. Ia menyerah dan terduduk lemas di tepian bukit. Hingga ia meniup peluit bambu yang Petter beri. Hingga sebuah suara mengagetkannya "Yo! Sedang apa kau disini? Disini terlalu panas, ayo kembali ke bawah pohon!". Seru Petter yang berjalan mendahuluinya. Naira senang Petter menepati perkataannya, dia datang ketika peluit bambu dibunyikan.
Hari itupun berlalu dengan perbincangan yang hangat dan seru. Naira sangat senang, hingga ia melupakan kejadian buruk kemaren. Waktu seakan tak berpihak pada keduanya yang masih ingin berbincang, melepas rindu dan menyatakan rasa. Hingga mereka berpisah kembali "Aku sungguh menyukaimu, tapi aku tidak memaksa mu menyukaiku".Kata Petter. Perkataannya kali ini meluluh lantahkan benteng hati Naira. Mereka berpisah dengan berat.
Pagi itu tidak secerah langit, keributan telah mendahului sarapan pagi. " Aku tidak ingin menikah dengan Juragan! Aku menyukai Petter"
"Tapi sebentar lagi juragan akan datang, kita tidak bisa menentangnya. Atau kita akan diusir dari kampung ini"
"Kalau begitu biar aku saja yang pergi"
"Kau akan pergi kemana Nai?, Nai!"
Naira berlari sekencang yang ia bisa. Menaiki bukit untuk mencari Petter, berharap Petter dapat menyelamatkannya. Ternyata juragan dan penjaganya yang berbadan kekar tengah mengejarnya. Ia ketakutan, ia berlari masuk kedalam hutan, berlari tanpa tahu arah yang jelas. Semua semakin kacau ketika yang ada dihadapannya hanyalah jurang, sedang juragan dan penjaganya sudah mendekat.
"Haha... Mau lari kemana lagi kau Nai, Tak ada jalan" Juragan tertawa menyeramkan.
Naira merasakan ketakutan yang teramat sangat, ia tidak mungkin menjatuhkan diri ke dalam jurang. Namun ia pun sangat tidak ingin dinikahi oleh juragan yang dipenuhi oleh nafsu.
"Aku tidak akan menikah dengan mu. Aku akan menikah dengan Petter"
"Hah? Jangan mimpi. Tak ada Petter disini. Sudahlah dia tidak mencintaimu. Buktinya dia bahkan tidak menyelamatkan mu"
Naira menitup peluit bambu sekencang kencangnya " Petter datanglah aku mohon, tolong aku" Lirihnya.
"Hahaha... Percuman saja, Petter sudah ditelan ombak bersama kapal nelayan" Juragan semakim terwa kencang.
Naira, terus meniup peluit itu dengan air yang berlinang membasahi seluruh wajahnya. "Petter aku mohon, kau ada kan? Petter!" Ia tak bisa percaya Petter tak kunjung datang.
Angin bertiup sangat kencang selaras dengan degupan jantung Naira yang tak bisa dikendalikan lagi. Bingung, takut, kecewa, sedih semua beradu menjadi satu. "Jangan mendekat! Aku lebih baik menjadi batu dari pada harus menikah denganmu"
"Hei, jaga bicara mu"
Naira merasakan kakinya tak lagi bisa bergarak, bibirnya terus meniup peluit bambu bersama hati yang berharap Petter datang dan air mata yang tak berhenti mengalir. Angin semakin kencang, langit menggelap dan petir menyambar. Seketika itu, Naira telah membatu.  Namun suara peluit terus terdengar dan air telus mengalir dari kelopak matanya. Hingga batu itu dikenal dengan "Batu menangis".

1 comment:

  1. Batu menangis itu cerita daerah sumatera.. Daerah danu toba eh iya ga sih gatau deng😁

    ReplyDelete