DIALOG KELABU
Berpangku dagu, berkawan awan kelabu, diiringi lagu nan sendu dan
sedikit rindu. Puan, siang itu dengan tatapan kosong ia menatap langit mendung,
dengan pikiran yang melayang-layang ke dunia tanpa bayang-bayang. Masih kah kau
memikirkan tentang Tuan? Lagi- lagi kau
hanya menjawab dengan senyum. Senyum yang menyakitkan.
“Kawan ku, dulu aku suka sekali hujan. Saat-saat berteduh
menghindari hujan aku suka, meskipun tetap saja pakaianku basah. Saat itu,
sangat lembab namun tetap hangat. Semua itu karenanya”
Sudah kuduga, tak mudah baginya melupakan Tuan. Cerita dan warna warni
kehidupan, telah dilukis begitu sempurna. Aku akui kau begitu berbakat Tuan,
senangkah kau telah berhasil menciptakan karya besar berkanvaskan hidup seorang gadis
yang beranjak dewasa ini? Senangkah ?. Kau hebat, bukan berarti berhati baik.
Puan, kawan ku berkata “Sudah saatnya kau mencari kekuatan mu
sendiri, ketimbang berkutat dengan tangis dan rindu, menunggu Tuan yang tak
kunjung mengerti”. Sekali lagi aku tak memaksa mu untuk mengikuti kata kawan
ku. perasaan ini hanya milikmu, hanya kau yang merasakan. namun aku ingatkan
kau, hidupmu hanya satu kali.
“Sungguh baik sekali kawanmu itu, indah sekali kata yang diukirnya.
Aku harap ia mau menjadi kawan ku juga” Jawabanya penuh harap.
“Aku ragu Ia mau berteman dengan orang menyebalkan seperti mu, Puan”
Awan kelabu telah berubah menjadi gelap dan rintik hujan memainkan
alunan lagu. Dalam suasana sendu itu,...
“Ia bukan kopi, yang rasanya akan tetap pahit. Ia Es krim, meskipun
dingin ia akan mencair dan sedikit demi sedikit dinginnya berkurang. Namun, akan tetap manis dan lembut”.
Kenangan tak perlu dilupakan, meskipun rasanya sesak. Rasanya saja
yang dihilangkan, kenangannya biarlah tetap menjadi cerita, kelak.
Bandung, 15 November 2017
Tulisan Kacau Kawan Puan
No comments:
Post a Comment