BATU MENANGIS
Kisah ini bercerita tentang seorang
gadis pengembala bernama Naira. Gadis yang dibesarkan di Ladang kambing, sehingga yang dia tahu hanya mengurusi kambing. Hidupnya tak
pernah menjumpai
seseorang untuk dikasihi, sebab setiap harinya hanya mengurusi anak-anak kambing
dan membaca di bawah pohon.
"Enaknya, menjadi putri Juliet.
Tak perlu mengurusi kambing- kambing dan bahagia
bersama pangeran." Keluhnya sembari bernafas berat.
"Nai, cepat kemarilah.
Kembalikan anak anak kambing ke kandang. Sebentar lagi akan turun hujan!"
Teriak seseorang dari bawah bukit.
"Baiklah!" Sahutnya.
Ia pun turun dan segera menggiring
anak anak kambing kembali ke rumahnya. "Andai saja.." Lirihnya.
Pagi menyapa, seperti biasa Naira
sudah siap dengan pakaian pengembalanya. Ia menggiring anak kambing ketepian bukit yang penuh dengan rumput yang segar. Kambing- kambing itu terlihat sehat dan gembira mengunyah rumput rumput itu dan
sesekali
berlarian. Naira pergi ke bawah pohon dibagian
atas bukit karena dari
situlah dia dapat berteduh dari terik matahari dan tetap bisa memantau
kambing-kambingnya. Kemudian ia membuka sebuah buku dan
membacanya.
"Sepertinya pemandangan di sini
cukup bagus ya?"
Naira terkejut melihat seorang lelaki
telah duduk di sampingnya sambil tersenyum melihat pemandangan di bawah bukit.
Ia tidak menyahut seruan sang lelaki hanya bergeser sedikit menjauhinya.
"Hallo, namaku Petter. Apakah
kau sering datang kemari?. Sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan mu selalu
duduk disini. "
Naira semakin terkejut, ia membisu
sebab selama ini ia tidak pernah menyadari ada yang memperhatikannya diam-diam.
Ia hanya membelalak menatap lelaki tersebut.
"Tenang saja, aku tidak
bermaksud jahat padamu kok. Aku hanya suka melihat mu"
Naira merasakan degupan dadanya tidak
biasa. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupannnya. Ia pun berlari menuruni bukit
dan segera menggiring kambing-kambing masuk ke
kandang.
"Ada apa ini? Hari masih siang
" Ujar Mama Lauri ibunda Naira.
"Hari akan hujan ma"
sahutnya dan masuk kedalam kamarnya kemudian membenamkan wajahnya diatas
bantal. Betul saja hujan segera turun dan menemani Naira yang masih dalam
keadaan gugup.
Tentu saja ini tidak mudah bagi
seorang gadis yang tidak pernah menjumpai seorang yang menyukainya. Lamunannya
terus menanyakan siapa dia? Siapa Petter? Dari mana dia? Mengapa dia
memperhatikan ku?
Malam berganti pagi, Naira mencoba
bersikap biasa dan menggiring kambing- kambing pergi ke
ladang. Namun, hal yang tidak biasa terjadi.
Petter sudah menunggunya di bawah pohon. Naira bermaksud mencari tempat lain
untuk bersantai, namun ia tidak menemukan tempat lain. Karena jika dia terlalu jauh
dari kambing- kambingnya maka dia akan terkena masalah dan Mama Lauri akan memarahinya.
Naira duduk agak jauh dari Petter,
ia berusaha mengacuhkan Petter yang
sejak tadi mengajaknya berbicara. Petter terus mengoceh meski Naira tak pernah
memperhatikannya atau bahkan merespon sedikit pun. Namun, tidak dipungkiri Naira
terus mendengarkan apa yang Petter bicarakan.
"Rupanya kau mendengarkan
ku!" Petter tertawa terbahak
bahak "Bahkan sejak tadi kau tidak membalik kertasnya sedikit pun"
Petter terus tertawa.
Naira yang merasa malu hanya
membalik badan dan menutup wajahnya dengan buku yang dipegangnya. Dadanya
semakin berdegup kencang. Hingga senja pun tiba, mereka pun berpisah.
"Aku menyukaimu, tapi aku tidak
memaksa mu menyukaiku" Kata Petter diakhir perpisahannya.
Kata- kata Petter terus terngiang di
kepalanya, berputar putar seperti kaset
rusak. Naira, bingung apa yang
harus ia lakukan, apa yang harus ia katakan kepada Petter. Hal ini membuatnya
sulit untuk terlelap.
Keesokan harinya Naira tidak
menjumpai Petter, Naira tidak membohongi hatinya. Ia tidak bisa mengelak jika ia
kecewa, ia ingin bertemu Petter. "Mungkin ia lupa, besok ia akan
kemari" Ujarnya menghibur diri.
Keesokan harinya pun Petter tak ada,
hal ini semakin membuatnya sedih. Kemana perginya Petter. Ia mencoba mencari
disetiap penjuru bukit. Namun ia tetap tidak menemukannya. Senja hari terasa sangat lama dan malam terasa sangat panjang untuk berganti pagi. Sebab, rasa harap harap ju,pa dalam dada Naira begitu menggebu.
Pagi itu dengan sangat lemas Naira
menaiki bukit dan duduk di bawah pohon. Harapannya masih sama 'berjumpa Petter'.
Namun ia tidak juga menemukannya. Hingga sebuah suara yang ia kenal menyapanya
"Hai, apa kabar?" Sahut Petter
Sosok yang ia nanti muncul
dihadapannya. Betapa Naira sangat merindukan Petter, senyum lebar menghiasi
wajah Naira tanpa ia sadari. Namun Petter selalu sadar akan itu " Hei, kau
terlihat bahagia? Apakah kau merindukan ku? " Kata Petter dengan nada bercanda.
"Aku terserang demam kemaren"
Petter mulai menjelaskan.
"Apa kau baik baik saja saat
ini?" Tanya Naira
"Betapa bahagianya aku, ini
pertama kalinya
kau berbicara padaku. Aku senang sekali"
Ujar Petter sambil melompat kegirangan. "Aku baik baik saja, aku sangat
sehat sekarang."
Melihat kelakuan Petter, Naira
tertawa dan mereka pun mulai perbincangan yang hangat. Senja itupun mereka
berpisah, "Jika kau mencariku, bunyikanlah peluit ini aku akan
datang" Petter memberikan sebuah peluit dari bambu dan menyampaikan
perpisahan seperti biasa. "Aku menyukaimu, tapi aku tidak memaksa mu menyukaiku".
Keesokan harinya Naira sudah sangat
siap menuju ladang, namun Mama Lauri menghadangnya " Sedang apa kau ini
Nai, lekas ganti pakaianmu dengan pakai yang bagus. Apakau lupa hari ini Juragan
akan datang!"
"Mau apa dia?"
"Dia berencana meminangmu"
"Apa dia gila? Bahkan dia sudah
beristri 4,untuk apa meminangku? Aku tidak
mau!"
Mama Lauri menariknya dan memaksa
mengganti pakainnya. Hari itu ia tidak menemui Petter. Naira sangat sedih dan
membenci hari itu. "Besok aku akan menemuinya!"
Mencoba menghibur diri.
Esok harinya lagi lagi ia tidak
menemukan Petter, ia mencari cari namun tidak menemukan. Ia menyerah dan
terduduk lemas di tepian bukit. Hingga ia meniup peluit bambu yang Petter beri.
Hingga sebuah suara mengagetkannya "Yo! Sedang apa kau disini? Disini terlalu panas, ayo
kembali ke bawah pohon!". Seru Petter yang berjalan mendahuluinya. Naira senang Petter menepati perkataannya, dia datang ketika peluit
bambu dibunyikan.
Hari itupun berlalu dengan
perbincangan yang hangat dan seru. Naira sangat senang, hingga ia melupakan
kejadian buruk kemaren. Waktu seakan tak berpihak pada keduanya yang
masih ingin berbincang, melepas rindu dan menyatakan rasa. Hingga mereka
berpisah kembali "Aku sungguh menyukaimu, tapi aku tidak memaksa mu menyukaiku".Kata
Petter. Perkataannya kali ini meluluh lantahkan
benteng hati Naira. Mereka berpisah dengan berat.
Pagi itu tidak secerah langit, keributan telah mendahului sarapan pagi. " Aku tidak ingin menikah dengan Juragan! Aku menyukai Petter"
"Tapi sebentar lagi juragan akan
datang, kita tidak bisa menentangnya. Atau kita akan diusir dari kampung
ini"
"Kalau begitu biar aku saja
yang pergi"
"Kau akan pergi kemana Nai?, Nai!"
Naira berlari sekencang yang ia bisa. Menaiki bukit untuk mencari Petter,
berharap Petter dapat menyelamatkannya. Ternyata juragan dan penjaganya yang
berbadan kekar tengah
mengejarnya. Ia ketakutan, ia berlari masuk kedalam hutan, berlari
tanpa tahu arah yang jelas. Semua semakin
kacau ketika yang ada dihadapannya hanyalah jurang, sedang
juragan dan penjaganya sudah mendekat.
"Haha... Mau lari kemana lagi
kau Nai, Tak ada jalan" Juragan tertawa menyeramkan.
Naira merasakan ketakutan yang
teramat sangat, ia tidak mungkin menjatuhkan
diri ke dalam jurang. Namun ia pun sangat tidak ingin dinikahi oleh juragan
yang dipenuhi oleh nafsu.
"Aku tidak akan menikah dengan
mu. Aku akan menikah dengan Petter"
"Hah? Jangan mimpi. Tak ada Petter
disini. Sudahlah dia tidak mencintaimu. Buktinya dia
bahkan tidak menyelamatkan mu"
Naira menitup peluit bambu sekencang
kencangnya " Petter datanglah aku mohon, tolong aku" Lirihnya.
"Hahaha...
Percuman saja, Petter sudah ditelan ombak bersama kapal nelayan" Juragan
semakim terwa kencang.
Naira, terus meniup peluit itu
dengan air yang berlinang membasahi seluruh wajahnya. "Petter aku mohon,
kau ada kan? Petter!" Ia
tak bisa percaya Petter tak kunjung
datang.
Angin bertiup sangat kencang selaras
dengan degupan jantung Naira yang tak bisa dikendalikan lagi. Bingung, takut,
kecewa, sedih semua beradu menjadi satu. "Jangan
mendekat! Aku lebih baik menjadi batu dari pada harus menikah denganmu"
"Hei, jaga bicara mu"
Naira merasakan kakinya tak lagi
bisa bergarak, bibirnya terus meniup peluit bambu bersama hati yang berharap
Petter datang dan air mata yang tak berhenti mengalir. Angin semakin kencang, langit
menggelap dan petir menyambar. Seketika itu, Naira telah membatu. Namun suara peluit terus
terdengar dan
air telus mengalir
dari kelopak matanya. Hingga batu itu dikenal dengan "Batu menangis".
Batu menangis itu cerita daerah sumatera.. Daerah danu toba eh iya ga sih gatau deng😁
ReplyDelete