Pertanian dan
Problematikanya yang Tak Kunjung Diselesaikan
Masalah menyangkut pertanian jarang menjadi permasalahan menarik
untuk diperbincangkan. Isu-isu politik, penistaan agama bahkan kasus kopi
beracun Jesica-Mirna lebih banyak muncul di media dibandingkan kasus penggusuran
lahan di Kendeng. Masalah alih fungsi
lahan di Majalengka pun kini telah berlalu dan seolah dilupakan begitu saja.
Bukan hanya itu masih banyak persoalan-persoalan menyangkut pertanian yang
berlalu tanpa bekas.
Seperti berita yang dilansir dari jogja.tribunnews.com , penggusuran lahan Gumuk Pasir di Jogja yang
membuat para petani kahawatir lahannya tertutup pasir dan tandus. Penggusuran
lahan seluas 141 hektar ini diduga mengatasnamakan penelitian dari perguruan
tinggi. Meskipun hanya 141 hektar namun dampak yang menimpa lahan pertanian di
daerah tersebut cukup signifikan dan berpengaruh besar terhadap perekonomian
warga khusunya para petani.
Mirisnya lagi berita tersebut tidak sampai pada masyarakat luas,
tidak sampai mebuat pemerintah khawatir dan tidak sampai dimuat diberbagai
media. Hingga Kini kabarnya pun tidak lagi terdengar, seolah hanya menjadi
angin pantai yang berlalu (dianggap suatu hal yang biasa). Bahkan bulan Maret
yang lalu seorang petani Kendeng yang mengikuti Aksi Semen Kaki, Patmi
meninggal dunia demi mempertahankan lahannya, mempertahankan negara dari krisis
pangan. Akan tetapi masyarakat seolah acuh dengan kabar tersebut, tidak ada
“Aksi Bela Petani” jilid satupun tidak
apalagi sampai kejilid tiga.
Ada quotes yang mengatakan “ Mungkin sesekali dalam hidupmu
membutuhkan dokter, pengacara, polisi bahkan pendeta. Namun pasti anda
membutuhkan petani setiap hari dan sehari tiga kali”. Petani dibutuhkan
sebanyak tiga kali dalam sehari, tidak perlu dipertanyakan lagi untuk apa?
Jelas saja untuk mengisi perut yang tidak pernah merasa puas. Sayangnya kemakmuran
negara terlihat dari angka busung laparnya yang sedikit, bukan dari kemakmuran
petaninya.
Soekarno dalam pidatonya dengan lantang menyebutkan “Soal Pangan Adalah
Soal Hidup Matinya Bangsa!”. Artinya petani memegang erat hidup dan matinya
bangsa ini, tapi ironisnya yang terjadi saat ini adalah “Petani Mempertaruhkan
Hidup dan Matinya demi Pangan Bangsa!”. Mungkin saat ini masyarakat belum
menyadari peran penting petani, atau mungkin petaninya yang masih terlihat baik
baik saja.
Jika disadari banyak permasalahan lain yang menyangkut pertanian,
mulai dari dampak global warming, El nino,
kemarau yang berkepanjangan hingga permasalahan tengkulak licik. Permasalahan
cuaca tentu menjadi permasalahan utama karena cuaca tidak dapat diprediksi
secara akurat. Terlebih cuaca menjadi sangat tidak bersahabat dengan tanaman,
serangan hama penyakitpun semakin banyak, hingga segala usaha harus dilakukan
agar tidak terjadi gagal panen.
Peneliti memang telah menghasilkan bibit tanaman yang kuat terhadap
cuaca dan hama penyakit. Namun bibit yang berkualitas tinggi tidak dapat
dijangkau oleh petani kecil, pupuk kualitas bagus pun tidak mudah didapat. Pada
akhirnya petani hanya menggunakan bibit dan pupuk yang terjangkau, yang
terpenting mereka bisa panen dan menghidupi keluarga mereka. Jadi jangan heran
jika hasil penelitian mengenai pertanian yang dibukukan tidak memperoleh
manfaat seperti yang dikatakan didalamnya.
Cuaca memang benda mati yang tidak memiliki hati, hal yang percuma
jika menyalahkan cuaca. Maka yang dilakukan adalah usaha mengatasinya dari
tanaman dan teknik menanam. Namun hal yang sangat disayangkan adalah, manusia
yang diberi hati dan fikiran terkadang menjadi sangat rakus dan kejam ketika
berhubungan dengan masalah uang. Tengkulak licik, ya dia manusia akan tetapi
sifatnya tidak seperti manusia. Tengkulak membeli hasil panen petani dengan
harga yang sangat murah, bahkan dengan alasan kualitas hasil panen yang rendah
mereka membeli dengan harga sangat rendah pula. Pada akhirnya petani hanya
mendapat sedikt sekali keuntungan dari hasil panennya, sedang keperluan
hidupnya lebih banyak.
Petani tidak dapat menolak untuk menjual hasil panennya pada
tengkulak, karena hasil produk hasil pertanian tidak dapat bertahan lama. Jika
mereka tidak menjualnya maka hasil panenya akan busuk dan tidak akan ada yang
mau membelinya, kemudian darimana mereka akan mendapat modal untuk kembali
menanam jika bukan dari hasil penjualan pada tengkulak. Inilah mengapa petani tidak mudah untuk
makmur, untuk hasil usaha yang sangat keraspun hanya dihargai sedikit sekali
bahkan untuk biaya pendidikan pun sulit.
Membeli dengan harga seminim mungkin dan menjual dengan harga
setinggi mungkin, itulah prinsip tengkulak. Tidak memperhatikan tingkat
kesulitan dan biaya penanaman, sekali lagi ini menjadi hal miris bagi petani.
Dan sekali lagi hal inipun menjadi angin pantai yang berlalu bagi masyarakat
dan pemerintah. Bahkan mungkin pemerintah pun membeli hasil panen petani dengan
harga rendah untuk mengurangi pengeluaran negara atau untuk mungkin
kepentingannya sendiri. Entahlah mungkin itu menjadi pertanyaan yang tidak
perlu dijawab.
Kini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembaruan
teknologi pertanian, memang hal ini sangat membantu petani untuk meningkatkan
hasil panennya. Namun hal lain yang belum sempat difikirkan adalah jumlah
pengangguran menjadi bertambah. Jika mulanya untuk membajak sawah butuh lima
orang petani kini dapat diselesaikan oleh seorang atau dua orang dengan
menggunakan traktor. Bukan mengatakan bahwa pengaruh teknologi itu buruk bagi
petani, hanya saja dampak teknologi menjadi buruk karena tidak diimbangi dengan
kealian yang cukup.
Sebelumnya dikatakan bahwa untuk biaya pendidikan saja sulit,
hingga darimana para petani mendapat keahlian lebih untuk menggunakan
teknologi. Mungkin sebagian petani mampu mengeyam pendidikan dan mampu
menggunakan teknologi pertanian sesuai fungsinya. Akan tetapi sebagian yang
lain yang tidak mampu mengeyam pendidikan, hanya mampu merasakan dampak dari
teknologi tersebut. Oleh karena itu, pendidikan yang menunjang bagi petani pun
menjadi salah satu hal yang harus dibenahi.