Translate

Tuesday, December 12, 2017

Sekata kata

Pertanian dan Problematikanya yang Tak Kunjung Diselesaikan
Masalah menyangkut pertanian jarang menjadi permasalahan menarik untuk diperbincangkan. Isu-isu politik, penistaan agama bahkan kasus kopi beracun Jesica-Mirna lebih banyak muncul di media dibandingkan kasus penggusuran lahan di Kendeng.  Masalah alih fungsi lahan di Majalengka pun kini telah berlalu dan seolah dilupakan begitu saja. Bukan hanya itu masih banyak persoalan-persoalan menyangkut pertanian yang berlalu tanpa bekas.
Seperti berita yang dilansir dari jogja.tribunnews.com , penggusuran lahan Gumuk Pasir di Jogja yang membuat para petani kahawatir lahannya tertutup pasir dan tandus. Penggusuran lahan seluas 141 hektar ini diduga mengatasnamakan penelitian dari perguruan tinggi. Meskipun hanya 141 hektar namun dampak yang menimpa lahan pertanian di daerah tersebut cukup signifikan dan berpengaruh besar terhadap perekonomian warga khusunya para petani.
Mirisnya lagi berita tersebut tidak sampai pada masyarakat luas, tidak sampai mebuat pemerintah khawatir dan tidak sampai dimuat diberbagai media. Hingga Kini kabarnya pun tidak lagi terdengar, seolah hanya menjadi angin pantai yang berlalu (dianggap suatu hal yang biasa). Bahkan bulan Maret yang lalu seorang petani Kendeng yang mengikuti Aksi Semen Kaki, Patmi meninggal dunia demi mempertahankan lahannya, mempertahankan negara dari krisis pangan. Akan tetapi masyarakat seolah acuh dengan kabar tersebut, tidak ada “Aksi Bela Petani”  jilid satupun tidak apalagi sampai kejilid tiga.
Ada quotes yang mengatakan “ Mungkin sesekali dalam hidupmu membutuhkan dokter, pengacara, polisi bahkan pendeta. Namun pasti anda membutuhkan petani setiap hari dan sehari tiga kali”. Petani dibutuhkan sebanyak tiga kali dalam sehari, tidak perlu dipertanyakan lagi untuk apa? Jelas saja untuk mengisi perut yang tidak pernah merasa puas. Sayangnya kemakmuran negara terlihat dari angka busung laparnya yang sedikit, bukan dari kemakmuran petaninya.
Soekarno dalam pidatonya dengan lantang menyebutkan “Soal Pangan Adalah Soal Hidup Matinya Bangsa!”. Artinya petani memegang erat hidup dan matinya bangsa ini, tapi ironisnya yang terjadi saat ini adalah “Petani Mempertaruhkan Hidup dan Matinya demi Pangan Bangsa!”. Mungkin saat ini masyarakat belum menyadari peran penting petani, atau mungkin petaninya yang masih terlihat baik baik saja.
Jika disadari banyak permasalahan lain yang menyangkut pertanian, mulai dari dampak global warming, El nino, kemarau yang berkepanjangan hingga permasalahan tengkulak licik. Permasalahan cuaca tentu menjadi permasalahan utama karena cuaca tidak dapat diprediksi secara akurat. Terlebih cuaca menjadi sangat tidak bersahabat dengan tanaman, serangan hama penyakitpun semakin banyak, hingga segala usaha harus dilakukan agar tidak terjadi gagal panen.
Peneliti memang telah menghasilkan bibit tanaman yang kuat terhadap cuaca dan hama penyakit. Namun bibit yang berkualitas tinggi tidak dapat dijangkau oleh petani kecil, pupuk kualitas bagus pun tidak mudah didapat. Pada akhirnya petani hanya menggunakan bibit dan pupuk yang terjangkau, yang terpenting mereka bisa panen dan menghidupi keluarga mereka. Jadi jangan heran jika hasil penelitian mengenai pertanian yang dibukukan tidak memperoleh manfaat seperti yang dikatakan didalamnya.
Cuaca memang benda mati yang tidak memiliki hati, hal yang percuma jika menyalahkan cuaca. Maka yang dilakukan adalah usaha mengatasinya dari tanaman dan teknik menanam. Namun hal yang sangat disayangkan adalah, manusia yang diberi hati dan fikiran terkadang menjadi sangat rakus dan kejam ketika berhubungan dengan masalah uang. Tengkulak licik, ya dia manusia akan tetapi sifatnya tidak seperti manusia. Tengkulak membeli hasil panen petani dengan harga yang sangat murah, bahkan dengan alasan kualitas hasil panen yang rendah mereka membeli dengan harga sangat rendah pula. Pada akhirnya petani hanya mendapat sedikt sekali keuntungan dari hasil panennya, sedang keperluan hidupnya lebih banyak.
Petani tidak dapat menolak untuk menjual hasil panennya pada tengkulak, karena hasil produk hasil pertanian tidak dapat bertahan lama. Jika mereka tidak menjualnya maka hasil panenya akan busuk dan tidak akan ada yang mau membelinya, kemudian darimana mereka akan mendapat modal untuk kembali menanam jika bukan dari hasil penjualan pada tengkulak.  Inilah mengapa petani tidak mudah untuk makmur, untuk hasil usaha yang sangat keraspun hanya dihargai sedikit sekali bahkan untuk biaya pendidikan pun sulit. 
Membeli dengan harga seminim mungkin dan menjual dengan harga setinggi mungkin, itulah prinsip tengkulak. Tidak memperhatikan tingkat kesulitan dan biaya penanaman, sekali lagi ini menjadi hal miris bagi petani. Dan sekali lagi hal inipun menjadi angin pantai yang berlalu bagi masyarakat dan pemerintah. Bahkan mungkin pemerintah pun membeli hasil panen petani dengan harga rendah untuk mengurangi pengeluaran negara atau untuk mungkin kepentingannya sendiri. Entahlah mungkin itu menjadi pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
Kini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembaruan teknologi pertanian, memang hal ini sangat membantu petani untuk meningkatkan hasil panennya. Namun hal lain yang belum sempat difikirkan adalah jumlah pengangguran menjadi bertambah. Jika mulanya untuk membajak sawah butuh lima orang petani kini dapat diselesaikan oleh seorang atau dua orang dengan menggunakan traktor. Bukan mengatakan bahwa pengaruh teknologi itu buruk bagi petani, hanya saja dampak teknologi menjadi buruk karena tidak diimbangi dengan kealian yang cukup.

Sebelumnya dikatakan bahwa untuk biaya pendidikan saja sulit, hingga darimana para petani mendapat keahlian lebih untuk menggunakan teknologi. Mungkin sebagian petani mampu mengeyam pendidikan dan mampu menggunakan teknologi pertanian sesuai fungsinya. Akan tetapi sebagian yang lain yang tidak mampu mengeyam pendidikan, hanya mampu merasakan dampak dari teknologi tersebut. Oleh karena itu, pendidikan yang menunjang bagi petani pun menjadi salah satu hal yang harus dibenahi.

Baca juga postingan pertama Dari Kami Untuk Kalian

No comments:

Post a Comment